Monday, October 27, 2014

Turki di Mataku


oleh: Arkarim




7 Oktober 2011.

Aku meninggalkan tanah air menuju Turki untuk melanjutkan pendidikanku. Tiba di Turki, aku tinggal selama sehari semalam di Istanbul, di tempat kakak kelasku. Selama di Istanbul, ada kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku: Aku nyasar.

Ceritanya, aku dan 4 orang temanku bermaksud menukar uang dollar yang kami punya dengan uang lira Turki. Kami pun bermaksud mendaftarkan ponsel kami.Di Turki, kalau kita membawa ponsel dari luar negeri, ponsel itu harus didaftarkan dan dibayarkan pajaknya.

Singkat cerita, aku terpisah dari rombongan. Akhirnya, aku putuskan untuk menyusul teman-temanku ke bandara dengan modal nekat dan bahasa Turki yang nol besar. Jadi aku menggunakan bahasa Inggris untuk mencari cara menuju bandara. Aku bertanya pada orang Turki (baca: tukang simit, roti bundar seperti bagel, a la Turki) yang tidak bisa bahasa Inggris. Aku tanya pula ke orang yang menurutku paham bahasa Inggris. Ternyata pria berkumis yang telah kutuduh bisa bahasa Inggris itupun tak sanggup meladeniku dan kabur.

Akhirnya, aku bertemu dengan turis Jerman yang bisa berbahasa Inggris. Kami pun bersama-sama pergi ke bandara. Di bandara, aku mencoba bertanya kepada satpam cara mendaftarkan ponsel. Tapi sekali lagi, satpam pun tak bisa bahasa Inggris. Jadi, kesimpulanku selama nyasar di Istanbul adalah orang Turki tidak bisa berbahasa Inggris.

Dari Istanbul, aku menuju Samsun untuk daftar ulang di universitas yang menerimaku menjadi mahasiswanya. Seminggu pertama di Samsun, aku dilanda demam bule. Semua orang Turki yang aku temui, terlihat bening-bening dan ganteng-ganteng. Waktu itu, kemampuan bahasa Turkiku masih nol dan aku belum bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil (eh). Jadi, setiap aku mendengar orang Turki ngobrol rasanya seperti nonton telenovela yang sering ditonton ibuku. Aku pun sering menjadi dubber dan menyulihsuarakan (dubbing) obrolan orang-orang Turki di taman-taman sebagai hiburan untukku sendiri.

Di Samsun, jumlah perokok lebih banyak dari jumlah perokok di kampungku. Laki, perempuan, muda, tua, berhijab, semuanya merokok. Keadaan ini membuatku kesal karena aku tidak suka bau rokok. Tapi, diluar masalah merokok, orang-orang Turki adalah orang-orang yang baik. Super baik. Mereka suka bertanya kabar, mengajak minum teh, pendeknya peduli banget sama orang asing seperti aku. Itu kesanku tentang Turki di hari-hari pertamaku.

Hal lain yang menarik perhatianku adalah gaya pemerintahan di Turki. Mereka cuma butuh beberapa orang pintar untuk duduk di pemerintahan. Orang-orang yang duduk di pemerintahan tidak banyak debat atau studi banding kemana-mana. Sementara rakyatnya, pintar atau kurang pintar, adalah rakyat yang menuruti pemerintahnya. Misalnya saja, untuk masalah puasa, semua sudah ditetapkan oleh pemerintah. Dari tanggal awal puasa hingga tanggal lebaran bahkan tanggal terjadinya Lailatul Qadar. Rakyat pun menurutinya tanpa ribut-ribut.

Kemudian tentang nasionalisme. Buatku, orang Turki adalah jagonya nasionalisme. Mereka sangat bangga dengan negara dan kebudayaan mereka. Setiap daerah di Turki pasti punya ikon yang dibanggakan penduduknya, misalnya, çigköfte di Adıyaman, ekmek di Trabzon atau simit di Samsun (padahal rasa simit di Samsun seperti ban karet). Rasa bangga orang Turki begitu besarnya sampai sebuah situs yang menjelek-jelekkan Ataturk (pendiri Republik Turki) diblokir. Apalagi kalau mereka sedang berkisah tentang osmanlı atau ottoman. Hanya ada satu hal yang bisa kita lakukan: dengarkan saja, biar cepat.

Lalu, soal gaya. Orang Turki itu gaya banget, deh. Aku pun terbawa-bawa gaya mereka sampai akhirnya aku sadar bahwa aku adalah orang Jawa bukan orang Turki. Sekali Jawa tetap Jawa. Tapi, aku cukup terkejut dengan kebiasaan orang Turki yang jarang mandi. Ketika aku tiba di Turki pada bulan Oktober, suhu memang sudah cukup dingin. Sekarang sih aku sudah terbiasa dengan gaya orang Turki terutama masalah jarang mandi.

Berikutnya adalah masalah transportasi. Sejak aku berada di Samsun, sudah 4 tahun ini ada tramvay, seperti KRL tapi jauh lebih keren. Proses pembangunannya pun relatif cepat. Kalau di Jakarta, orang-orang akan membangun MRT saja studi banding kemana-mana lalu tak jelas kapan selesainya.

Terakhir, soal kepo. Orang Turki adalah raja kepo. Kamu  dimana, dengan siapa, sekarang sedang apa, adalah pertanyaan-pertanyaan wajib orang Turki. Mirip lagu Kangen Band. Jangan-jangan yang menciptakan lagu itu pernah tinggal di Turki?

Orang Turki suka banget ngobrol. Apapun. Obrolan mereka berkisar dari soal gadget hingga harga sayur di pasar becek. Bahkan ngobrolin soal Kurtlar Vadisi (salah satu sinetron di Turki) di telepon dengan orang tua adalah hal biasa untuk teman Turkiku. Kalau sedang tak punya teman, mereka akan bertanya, "apa kabar?". Lalu terdiam. Lalu bertanya lagi, "apa kabar?".

Tahukah kamu, hampir semua orang Turki punya paket ngobrol di telepon untuk sekedar bertanya "Kamu dimana? Dengan siapa? Lagi apa? Uwooo, uwooo."

Foto: wikimedia

1 comment:

  1. Assalamu'alaikum mbak,

    saya siti dari indonesia,
    mau nanya-nanya boleh via email mbak ?
    ini email saya ctismet00@gmail.com.

    terima kasih, wassalamu'alaikum.

    ReplyDelete