oleh Ullih Hersandi
"Ada sebuah negeri
yang terpisahkan oleh satu selat dan berada tepat di perbatasan antara benua
Asia dan Eropa. Negeri yang mengenalkanku pada arti keluarga, sahabat, dan tanah air."
Kala itu perasaan saling bercampur aduk tak karuan dan tak bisa kukenali, manakah yang benar. Semua perasaan bercampur menjadi satu ketika sebuah email pemberitahuan yang menyatakan beasiswaku diterima di negeri seberang. Tak pernah kubayangkan bahkan sejak aku dilahirkan, bahwa setelah lulus menempuh pendidikan SMA, aku akan melanjutkan pendidikan di luar negeri yaitu Turki.
Kala itu perasaan saling bercampur aduk tak karuan dan tak bisa kukenali, manakah yang benar. Semua perasaan bercampur menjadi satu ketika sebuah email pemberitahuan yang menyatakan beasiswaku diterima di negeri seberang. Tak pernah kubayangkan bahkan sejak aku dilahirkan, bahwa setelah lulus menempuh pendidikan SMA, aku akan melanjutkan pendidikan di luar negeri yaitu Turki.
Harapan untuk berburu
ilmu dan pengalaman lebih sepertinya telah terbuka secara perlahan.
Aya Sofia, Istanbul |
Saat itu awal
bulan September, kupersiapkan segala keperluan dan kebutuhan untuk keberangkatanku
menyeberang samudera bahkan lintas benua untuk menimba ilmu dan pengalaman di
negeri dimana kebab berasal. Dengan keadaan dihimpit oleh waktu yang terbatas,
tanpa sadar segala keperluan seperti paspor, visa, tiket pesawat dan perlengkapan
lainnya terselesaikan secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tepat
7 Oktober 2011, sepasang kakiku ini harus melangkah pergi meninggalkan ibu pertiwi
yang telah lama kutinggali sejak usia dini. Saat itu hanya satu pesan penuh haru
kusampaikan untuk Indonesiaku: “Hai Indonesia, aku pergi hanya untuk sementara,
kau tetaplah di sini hingga aku kembali”.
Dari Bandara Soekarno-Hatta , aku terbang ke negeri seberang. Jujur, pengetahuanku
akan negeri tujuan tak lebih banyak dari yang pernah kalian bayangkan.
Keberangkatanku ke Turki hanya bermodalkan doa, tekad yang bulat, dan niat yang
kuat. Terlebih, inilah penerbangan pertamaku dalam seumur hidup. Dengan kata
lain inilah awal dari perburuan ilmu dan pengalaman di negeri orang.
Setelah 14 jam perjalanan, dan 2 jam transit di Doha, akhirnya pesawat berlambang Antelop, Qatar Airways mengantarkanku dengan selamat di Bandara Ataturk, Istanbul. Bandara tersebut merupakan bandara Internasional utama di Turki, dan namanya diambil dari pendiri negara Turki sekaligus Presiden pertama Turki, yaitu Mustafa Kemal Ataturk.
Setelah 14 jam perjalanan, dan 2 jam transit di Doha, akhirnya pesawat berlambang Antelop, Qatar Airways mengantarkanku dengan selamat di Bandara Ataturk, Istanbul. Bandara tersebut merupakan bandara Internasional utama di Turki, dan namanya diambil dari pendiri negara Turki sekaligus Presiden pertama Turki, yaitu Mustafa Kemal Ataturk.
Setelah keluar dari
pesawat, mataku langsung tercengang, karena sejauh mata memandang tak kutemukan
gurun pasir yang ramai dibicarakan
orang. Pelan kuberjalan dengan muka bingung seakan orang linglung. Kususuri bandara
hingga akhirnya harus mengantri di bagian imigrasi. Sesekali kulihat
orang-orang di sekitar, dan kenapa rambut mereka berwarna pirang.
Akalku masih di luar nalar, dan beberapa kali kupastikan kalau tempatku berdiri sekarang ini adalah negeri Turki. Setelah mengambil koper di bagian baggage claim, aku menunggu seseorang yang akan menjemputku. Aku duduk di deretan kursi yang telah disediakan di pinggiran koridor bandara. Berjam-jam menunggu jemputan sembari melihat orang berlalu lalang. Baru beberapa jam di bandara, negeri ini sungguh jauh dari apa yang kupikirkan. Kukira banyak pohon kurma di tepian bandara dilengkapi dengan unta-unta yang berteduh di bawahnya. Jangankan unta, padang pasirnya pun tak kulihat sejauh mata melemparkan pandangan.
Akalku masih di luar nalar, dan beberapa kali kupastikan kalau tempatku berdiri sekarang ini adalah negeri Turki. Setelah mengambil koper di bagian baggage claim, aku menunggu seseorang yang akan menjemputku. Aku duduk di deretan kursi yang telah disediakan di pinggiran koridor bandara. Berjam-jam menunggu jemputan sembari melihat orang berlalu lalang. Baru beberapa jam di bandara, negeri ini sungguh jauh dari apa yang kupikirkan. Kukira banyak pohon kurma di tepian bandara dilengkapi dengan unta-unta yang berteduh di bawahnya. Jangankan unta, padang pasirnya pun tak kulihat sejauh mata melemparkan pandangan.
Akhirnya penantianku
terbayarkan setelah 4 jam menunggu layaknya orang hilang. Seseorang datang menjemputku.
Aku diantar menuju apartemen sementara sebelum akhirnya besok harinya aku harus
melanjutkan perjalanan ke kota Samsun, tempat dimana aku akan melanjutkan pendidikanku.
Selama perjalanan dari bandara menuju apartemen sementara, aku cukup kagum dengan fasilitas kereta yang terintegrasi dengan sempurna dari bandara ke daerah-daerah lainnya yang berada di Istanbul. Selain fasilitas kereta, pemerintah Turki juga menyediakan fasilitas bus untuk melanjutkan perjalanan dari bandara ke tempat-tempat tujuan kita. Keretanya memang tak terlalu cepat, namun kebersihan di dalamnya patut diacungi 2 jempol tangan.
Selama perjalanan dari bandara menuju apartemen sementara, aku cukup kagum dengan fasilitas kereta yang terintegrasi dengan sempurna dari bandara ke daerah-daerah lainnya yang berada di Istanbul. Selain fasilitas kereta, pemerintah Turki juga menyediakan fasilitas bus untuk melanjutkan perjalanan dari bandara ke tempat-tempat tujuan kita. Keretanya memang tak terlalu cepat, namun kebersihan di dalamnya patut diacungi 2 jempol tangan.
Perjalanan dari
bandara ke apartemen sementara tak begitu
jauh. Setelah turun dari kereta kami melanjutkannya dengan berjalan kaki. Selain fasilitas transportasi
yang sangat membuat penggunanya merasa aman, trotoar untuk pejalan kaki pun dibangun
senyaman mungkin untuk digunakan. Melihat negeri ini, sepertinya pemerintah mengerti
akan kebutuhan masyarakatnya yang sebagian besar memiliki hobi berjalan kaki. Di negeri ini, langkah kakiku tak sendirian ketika berjalan di trotoar, karena
ada banyak pasang kaki lainnya yang saling berjalan beriringan.
Setelah berjalan kaki 15 menit dengan menarik koper yang beratnya 25 kg, akhirnya sampai juga langkahku di apartemen sementara.
Setelah berjalan kaki 15 menit dengan menarik koper yang beratnya 25 kg, akhirnya sampai juga langkahku di apartemen sementara.
Blue Mosque, Istanbul |
Entah terlalu kampungan
atau apalah itu, aku terkaget-kaget melihat keran di apartemen bisa mengeluarkan
air panas ketika diputar ke kanan, dan berubah menjadi dingin ketika diputar ke
kiri. Selain itu ketika membuka kulkas, kutemukan buah semacam anggur. Buah tersebut
berwarna hitam pekat. Rasa penasaranku ternyata mendapat dukungan penuh oleh
rasa lapar menunggu masakan yang tak kunjung matang.Tanpa pikir panjang,
kulahap buah tersebut dan ternyata rasanya sungguh tak bisa dijelaskan dengan bahasa
puisi tersyahdu sekelas Chairil Anwar sekalipun. Tak lebih dari 2 detik buah tersebut
di rongga mulut, langsung kumuntahkan tanpa diperintah. Buah tersebut ternyata adalah
buah Zaitun. Salah satu buah yang disebut di dalam Al-Quran surah At-Tin. Mungkin
setelah mencoba buah Zaitun ini walau tak lebih dari 2 detik, aku harus menemukan
pasangannya, yaitu, buah Tin.
Menunggu adalah
belajar tentang kesabaran, dan tiap kesabaran akan mendapat pahala yang
dilipatgandakan. Terbukti, kesabaranku menahan lapar akhirnya terbayarkan setelah
menu makan malam siap untuk disajikan. Menu makan malam kali ini adalah kentang
goreng, spaghetti, dan roti. Beginilah menu harian, entah itu untuk sekelas mahasiswa
ataupun masyarakat pada umumnya.Yang pasti menu seperti ini membuat kami serasa
tinggal di Eropa. Aku tersadar bahwa separo dari Istanbul memang berada di
Eropa, jadi tak salah rasanya kalau menu harian kami seperti itu.
Setelah makan malam
selesai, dilanjutkan dengan menikmati sajian teh a la Turki bersama-sama. Untuk tradisi
minum teh yang satu ini, bagiku sebagai pendatang baru sungguh menarik untuk dinikmati.
Teh disajikan menggunakan teko yang bertingkat. Bagian bawah berisi air panas
biasa; sedangkan teko yang berada di atasnya berisi serbuk teh yang telah diseduh
dengan air panas. Kemudian teh dituangkan ke dalam gelas berukuran kecil yang
bentuknya menyerupai bunga tulip.Sungguh terasa menenangkan bisa menikmati sajian
teh yang diselingi obrolan ringan bersama teman-teman yang baru kukenal.
Tanpa terasa detik
waktu terus berjalan, hingga hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Banyak
fakta unik yang kudapati tentang negeri Turki, dan sebagian orang Indonesia akan
tercengang ketika mengetahuinya. Seperti, Turki bukanlah negeri Arab, bahkan bahasa
resmi yang digunakan masyarakat Turki bukanlah bahasa Arab. Kemudian Turki memiliki
4 musim layaknya negeri-negeri di Eropa pada umumnya. Selain itu kebab Turki
yang terkenal di Indonesia, di negeri Turki ini punya nama Döner. Kebab di negeri Turki sendiri adalah daging
yang di tusuk-tusuk menyerupai sate kemudian dibakar.
Kini
3 tahun telah terlewatkan dengan berbagai ilmu dan pengalaman yang kudapatkan. Perlahan
aku mulai belajar tentang kehidupan yang ada di negeri Turki. Banyak hal yang
kudapatkan, dan akusadar, itu semua tak bisa dibayar dengan uang. Segala sesuatu
yang bernilai positif akan kusimpan; sedangkan segala sesuatu yang bermuatan negatif
akan kuendapkan. Hidup bukan sekedar untuk dijalani, tapi juga untuk diresapi,
dipelajari, hingga akhirnya bisa diceritakan kembali menjadi kisah yang
menginspirasi.
Foto: Ullih Hersandi
cieeee kakak kuliah di turki yaaaa.. keep inspiring ya kakak...!!
ReplyDelete